Juni 2012 - skripsi man (dulrohman webs)

Senin, 25 Juni 2012

Juni 25, 2012

Tentang Ilmu

by
Tentang Ilmu
(pembina majelis ashabul muslimin)

Ilmu adalah ibarat pedang yang digunakan untuk memotong sesuatu. jika pemiliknya jahat maka ilmu itu akan merusakkan dunia, tetapi bila ilmu itu dimiliki orang baik maka akan membangun dunia. maka tak ada salahnya sebelum kita membangun keilmuwan yang mendalam semacam ; pengetahuan teknologi, sastra, budaya, sosiologi dan semacamnya kita terlebih dulu membangun akhlaq yang mulia kepada anak didik kita, supaya kelak ilmu itu tidak disalah gunakan untuk merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Begitu juga ilmu ibarat makanan. Ilmu tidak bisa ditelan mentah-mentah. Perlu penjabaran dan perlu pengkajian makna ilmu itu terlebih lagi perlu analisis (penelitian) dan praktik untuk membuktikan kebenaran sebuah pengetahuan (ilmu). maka jika ada orang menelan makanan mentah-metah alias bulat-bulat tanpa dicerna terlebih dahulu maka orang tersebut akan kloloden. Begitu juga dengan manusia yang belajar ilmu perlu penjelasan detil tentang ilmu itu. jika mengkaji secara mentah-mentah tanpa penjelasan maka akan banyak argumen yang salah dan praktek yang ngawur tentang ilmu itu. Akibatnya suatu kebenaran tidak akan nampak jelas. bahkan bisa karena seorang intelek menelan ilmu mentah-mentah akan berakibat samarnya kebenaran dan kemungkaran, akhirnya banyak orang yang mengikuti seorang intelek itu tersesat karena suatu ilmu yang dikaji secara serampangan.

Ilmu juga ibarat belajar menunggang sepeda. Jika tanpa praktek maka tak mungkin kita bisa menaiki sepeda dengan lancar sama saja dengan sebuah angan-angan kosong. Begitu juga dengan ilmu butuh praktik, semakin kita mempraktikan suatu ilmu maka kita akan semakin ahli dengan ilmu tersebut.


sekian
Makalah tentang analisa sastra puisi
BAB I
PENDAHULUAN

1.      Pengantar
            Latar Belakang Masalah           
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
Eksistensi sastra yang sarat dengan nilai sosial itu menjadikan ia tidak bersifat positif terhadap berbagai pendekatan sosiologis. Ia selalu terbuka, sehingga sangat boleh ia didekati dengan tinjauan sosiologis Goldman, Zima, Swingewood, Duvignaud, dan lain-lain.
Menurut Umar Junus (1986: 157) pendekatan strukturalisme genetik Goldmanlah yang paling kuat karena ia mempunyai literer karya yang dinamis. Pendekatan strukturalisme dinamakan juga pendekatan objektif, yaitu pendekatan dala penelitian sastra yang memusatkan perhatiannya pada otonomi sastra sebagai karya sastra. Kelemahan pendekatan strukturalisme diperbaiki dengan memasukkan faktor genetik di dalam memahai karya sastra. Genetik karya sastra maksudnya asal-usul karya sastra.

            Perumusan Masalah
Masalah pada pengkajian ini adalah pada pendeskripsian penganalisisan, serta pemberian makna sajak.

            Tujuan
Pengkajian ini bertujuan untuk membangun ilmu sastra di Indonesia, khususnya pada bidang penerapan teori sastra, untuk mengkaji karya-karya ilmiah. Selain itu juga untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memahami puisi.

BAB II
PEMBAHASAN

2.      Puisi Yang Dianalisis
            Puisi Wajib
NUH (Subagio Sastrowardojo)

Kadang-kadang
ditengah keramaian pesta
atau waktu sendiri berjalan di gurun
terdengar debar laut
menghempas karang

Aku tahu pasti
sehabis mengembara di kota
aku akan kembali ke pantai
memenuhi janji

Sekali ini tidak akan ada pelarian
atau perlawanan

Kapal terakhir terdampar di pasir
Aku akan menyerah dian
Waktu air terbena

2.1.1        Parafrase Puisi “NUH”
Kadang-kadang (muncul) ditengah keramaian pesta, atau (di) waktu sendiri berjalan di gurun (namun hanya) terdengar debar laut (yang) menghempas karang.
Aku (sangat) tahu (dengan) pasti (bahwasanya) sehabis mengembara di kota, aku akan kembali ke pantai, (untuk) memenuhi janji.
(Mungkin) sekali ini tidak akan ada pelarian, atau (bahkan) perlawanan.
Kapal (yang) terakhir terdampar di pasir, (dan) aku akan menyerah (kemu)dian. (di) waktu air terbena

2.1.2        Gaya
a.       Gaya metafora
Seperti :
·         Mengembara di kota : menjelajahi isi kota
b.      Gaya kiasan
Seperti :
·         Aku akan menyerah dian
·         Waktu air terbenam
c.       Gaya litotes
Seperti :
·         (Namun hanya) terdengar debur laut menghempas karang

2.1.3        Pembahasan
Secara keseluruhan tafsiran dari puisi “NUH” adalah sebagai berikut :

Bait ke 1
Disini si aku merasakan dirinya bahwa terkadang dia telah berada di tenga keramaian pesta. Akan tetapi si aku berjalan di gurun sendirian. Diperjalanan hanya terdengar debur laut yang menghempas karang.

Bait ke 2
Si aku telah tahu dimana setelah dia berjalan-jalan menjelajahi isi kota, ia akan kembali lagi ke pantai karena dia punya janji.

Bait ke 3
 Si aku tidak dapat memungkir takdir yang ada, maka itu si aku tidak melawan jalan hidup-Nya.
Bait ke 4
Si aku kini telah berada di gurun sendiri, karena kapalnya telah terdampar. Si aku hanya mampu diam dan memohon pada Robb-Nya.

            Puisi Pilihan
GARIS (Supardi Djoko Damono)

menyayat garis-garis hitam
atas warna kekemasan; di musim apa
Kita mesti berpisah tanpa
membungkukkan selamat jalan?

sewaktu cahaya tertoreh
ruang hening oleh bisikan pisau; Dikau-kah
debu, bianglala itu,
kabut diriku?

dan garis-garis tajam (berulang
kembali, berulang
ditolak) atas latar kecemasan
pertanda aku pun hamil. Kau-tinggalkan

2.2.1        Parafrase Puisi  “Garis”
Menyayat garis-garis hitam(kah?), (atau hanya) atas warna kekemasan; di musim apa(kah), Kita mesti (akan) berpisah tanpa (harus) mbungkukkan (tangan) selamat jalan(kah)?
(Dimana) sewaktu cahaya tertoreh, (di) ruang (yang) hening oleh bisikan pisau; Dikau-kah debu, (sang) bianglala itu, (yang jadi) kabut diriku?
dan (hanya garis-garis tajam (berulang kembali, berulang (untuk) ditolak) (hanya) atas latar kecemasan (sebagai) pertanda aku pun (telah) hamil. (dan kini) Kau-tinggalkan

2.2.2        Gaya
a.       Gaya hiperbola
Seperti :
·         Ruang hening oleh bisik pisau
(suasana yang tenang karena ada suatu masalah)
b.      Gaya metafora
Seperti :
·         Menyayat garis-garis hitam.
c.       Gaya paradoks
Seperti :
·         Kita mesti berpisah tanpa membungkukkan selamat jalan?

2.2.3        Pembahasan
Secara keseluruhan tafsiran dari puisi “GARIS” adalah berikut:
Bait ke 1
Seseorang yang telah merasakan penderitaan, merasa hatinya seperti disayat oleh pisau yang tajam. Orang ini memiliki penuh tanya dalam deritanya. Dia ingin tahu,kapan penderitaan yang dirasakannya akan berakhir.

Bait ke 2
Di saat ada sebuah cahaya yang tersilat dari sebuah pisau yang tajam, kini telah terdengar suara bisik pisau berada di sebuah ruangan.

Bait ke 3
Sayatan-sayatan pisau itu berkali-kali muncul berada, disaat orang ini telah hamil. Dan setelah kalah, ditinggalkanlah orang yang merasakan penderitaan ini.


BAB III
KESIMPULAN


Dalam kajian puisi ini kita telah tahu, bahwa karya-karya sastra merupakan sebuah sistem yang mempunyai konvensi-konvesi sendiri. Makna sastra ditentukan oleh konvensi sastra atau konvensi tambahan. Jadi dalam sastra arti bahasa tidak lepas sama sekali dari arti bahasanya. Dalam sastra arti bahasa itu mendapat arti tambahan atau konotasinya. Lebih-lebih dalam puisi, konvensi sastra itu sangat jelas memberi tambahan kepada arti bahasanya.


DAFTAR PUSTAKA


Jabrohim. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : PT. Hanindita Graha Widia.

Mohamad, Goenawan. 1961. Asmarandana. Jakarta : PT. Grasindo, Anggota IKAPI


Makalah tentang karangan fiksi
BAB 1
FIKSI: SEBUAH TEKS PROSA NARATIF

1.      Fiksi: Pengertian dan Hakikat
Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan (disingkat: cerkan) atau cerita khayalan. Tokoh, peristiwa, dan tempat yang disebut-sebut dalam fiksi adalah tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat imajinatif, sedang pada karya nonfiksi bersifat faktual.
Kebenaran dalam dunia fiksi adalah kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pengarang, kebenaran yang telah diyakini “keabsahannya” sesuai pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan. Misalnya kebenaran dari segi hukum, moral, agama, (dan bahkan kadang-kadang) logika, dan sebagainya.

2.      Pembedaan Fiksi
a.        Novel dan Cerita Pendek
Perbedaan novel dengan cerita pendek (disingkat: cerpen) yang pertama (dan yang terutama) dapat dilihat dari segi formalitas bentuk, segi panjang cerita.
Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya mengemukakan secara lebih banyak-jadi, secara implisit-dari sekedar apa yang diceritakan. Di pihak lain, kelebihan novel yang khas adalah kemampuannya menyampaikan permasalahan yang kompleks secara penuh, mengkreasikan sebuah dunia yang “jadi”.
Unsur-unsur pembangun sebuah novel, seperti plot, tema, penokohan, dan latar, secara umum dapat dikatakan bersifat lebih rinci dan kompleks daripada unsur-unsur cerpen.
b.       Novel Serius dan Novel Populer
Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Novel serius, justru “harus” sanggup memberikan yang serba berkemungkinan, dan itulah sebenarnya makna sastra yang sastra.

3.      Unsur-Unsur Fiksi
a.        Intrinsik dan Ekstrinsik
Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Misalnya, peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain.
Unsur ekstrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra.
b.       Fakta, Tema, Sarana Cerita
Fakta (facts) dalam sebuah cerita meliputi karakter (tokoh cerita), plot, dan setting. Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Dan sarana pengucapan sastra, sarana kesastraan (literary devices) adalah teknik yang dipergunakan oleh pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita.
c.        Cerita dan Wacana
Cerita merupakan isi dari ekspresi naratif, sedang wacana merupakan bentuk dari sesuatu yang diekspresikan (Chatman, 1980:23). Cerita terdiri dari peristiwa dan wujud keberadaannya, eksistensinya. Wacana, di pihak lain, merupakan sarana untuk mengungkapkan isi.









BAB 2
KAJIAN FIKSI

1.      Hakikat Kajian Fiksi
Merupakan pembendaan dari perbuatan mengkaji, menelaah, atau menyelidiki (meneliti). Untuk melakukan pengkajian terhadap unsur-unsur pembentuk karya sastra, khususnya fiksi, pada umumnya kegiatan itu disertai oleh kerja analisis. Misalnya, analisis karya fiksi.
Dalam rangka memahami dan mengungkap “sesuatu” yang terdapat di dalam karya sastra, dikenal adanya istilah heuristik (heuristic) dan hermeneutik (hermeneutic). Disebut sebagai pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik, biasanya dikaitkan dengan pendekatan semiotik. Hubungan antara heuristik dengan hermeneutik sebagai hubungan yang bersifat gradasi.

2.      Kajian Struktural
Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan.

3.      Kajian Semiotik
Semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Hoed, 1992:2). Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain.
Perkembangan teori semiotik dapat dibedakan ke dalam dua jenis semiotika, yaitu semiotik komunikasi dan semiotik signifikasi. Semiotik komunikasi menekankan diri pada teori produksi tanda, sedangkan semiotik signifikasi menkankan pemahaman, dan atau pemberian makna, suatu tanda.

a.        Teori Semiotik Peirce
Teori Peirce mengatakan bahwa sesuatu itu dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Sebuah tanda¾yang disebutnya sebagai representamen¾haruslah mengacu (atau: mewakili) sesuatu yang disebutnya sebagai objek.
Semiosis adalah suatu proses di mana suatu tanda berfungsi sebagai tanda, yaitu mewakili sesuatu yang ditandainya (Hoed, 1992:3).
b.       Teori Semiotik Saussure
Teori Saussure sebenarnya berkaitan dengan pengembangan teori linguistik secara umum, maka istilah-istilah yang dipakai untuk bidang kajian semiotik meminjam dari istilah-istilah dan model linguistik. Bahasa sebagai sebuah sistem tanda, menurut Saussure, memiliki dua unsur yang tak terpisahkan: signifier dan signified,  signifiant dan signifie, atau penanda dan petanda. Wujud signifiant (penanda) dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf-huruf tulisan, sedang signifie (petanda) adalah unsur konseptual, gagasan, atau makna yang terkandung dalam penanda tersebut (Abrams, 1981:171).  

4.      Kajian Intertekstual
Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (lengkapnya: teks kesastraan), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lain-lain, di antara teks-teks yang dikaji. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut.

5.      Dekonstruksi
Pembacaan karya sastra, menurut paham dekonstruksi untuk menemukan makna kontradiktifnya, makna ironisnya. Pendekatan dekonstruksi bermaksud untuk melacak unsur-unsur aporia, yaitu yang berupa makna paradoksal, makna kontradiktif, makna ironi, dalam karya (sastra) yang dibaca.
BAB 3
TEMA

1.      Hakikat Tema
Tema (theme), menurut Stanton (1965:20) dan Kenny (1966:88) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun, ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita (novel) itu, maka masalahnya adalah: makna khusus yang mana yang dapat dinyatakan sebagai tema itu.

2.      Tema: Mengangkat Masalah Kehidupan
Ada masalah-masalah kehidupan tertentu yang bersifat universal. Artinya, hal itu akan dialami oleh setiap orang di manapun dan kapan pun walau dengan tingkat intensitas yang tidak sama. Misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan masalah cinta, rindu, cemas, takut, maut, religius, nafsu, dan lain-lain.

3.      Tema dan Unsur Cerita yang Lain
Unsur-unsur cerita yang lain, khususnya yang oleh Stanton dikelompokkan sebagai fakta cerita¾tokoh, plot, latar¾yang “bertugas” mendukung dan menyampaikan tema tersebut.

4.      Penggolongan Tema
Pengkategorian tema yang akan dikemukakan berikut dilakukan berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu penggolongan dikhoromis yang bersifat tradisional dan nontradisional, penggolongan dilihat dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley, dan penggolongan dari tingkat keutamaannya.
a.        Tema Tradisional dan Nontradisional
Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang hanya “itu-itu” saja, dalam arti ia telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama. Sedangkan, tema nontradisional adalah sebuah karya yang mungkin saja mengangkat suatu tema yang tidak lazim.
b.       Tingkatan Tema menurut Shipley
Ada lima tingkatan tema menurut Shipley, pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) molekul, man as molecul. Kedua, tema tingkat organik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) protoplasma, man as protoplasm. Ketiga, manusia sebagai makhluk sosial, man as socious. Keempat, tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as individualism. Dan kelima, tema tingkat devine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya.
c.        Tema Utama dan Tema Tambahan
Makna-makna tambahan bukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, terpisah dari makna pokok cerita yang bersangkutan berhubung sebuah novel yang jadi merupakan satu kesatuan. Makna pokok cerita bersifat merangkum berbagai makna khusus, makna-makna tambahan yang terdapat pada karya itu.

5.      Penafsiran Tema
Dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel, secara lebih khusus dan rinci, Stanton (1965: 22-3) mengemukakan adanya sejumlah kriteria yang dapat diikuti seperti ditunjukkan berikut.
Pertama, penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detil cerita yang menonjol. Kedua, penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detil cerita. Ketiga, penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tak langsung dalam novel yang bersangkutan. Keempat, penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti secara langsung ada dan atau yang disarankan dalam cerita.

BAB 4
CERITA

1.      Hakikat Cerita
Membaca sebuah karya fiksi, novel ataupun cerpen, pada umumnya yang pertama-tama menarik perhatian orang adalah ceritanya. Aspek cerita (story) dalam sebuah karya fiksi merupakan suatu hal yang amat esensial.
Forster, Abrams (1981:61) juga memberikan pengertian cerita sebagai sebuah urutan kejadian yang sederhana dalam urutan waktu, dan Kenny (1966:12) mengartikannya sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi berdasarkan urutan waktu yang disajikan dalam sebuah karya fiksi.
Unsur peristiwa merupakan sesuatu yang dilakui dan atau ditimpakan kepada tokoh-tokoh cerita. Tokoh, dengan demikian, merupakan pelaku dan penderita berbagai peristiwa yang dikasihkan. Latar, di pihak lain, berfungsi untuk melatarbelakangi peristiwa dan tokoh tersebut, khususnya yang menyangkut hubungan tempat, sosial, dan waktu. Peristiwa merupakan gagasan yang berwujud lakuan, gerak, yang dalam sebuah cerita dapat berwujud deskripsi lakuan.

2.      Cerita dan Plot
Cerita dan plot merupakan dua unsur fiksi yang amat erat berkaitan sehingga keduanya, sebenarnya, tak mungkin dipisahkan. Terdapat perbedaan inti permasalahan antara cerita dengan plot. Keduanya memang sama-sama mendasarkan diri pada rangakaian peristiwa, namun “tuntutan” plot bersifat lebih kompleks daripada cerita.
Perbedaan fundamental antara cerita dan plot disebabkan pernyataan yang pertama sekedar menunjukkan adanya urutan waktu kejadian saja, sedang yang kedua di samping terdapat urutan waktu sekaligus mengandung unsur sebab akibat.

   
3.      Cerita dan Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan (subject matter) merupakan suatu hal (baca: permasalahan hidup dan kehidupan) yang diangkat ke dalam cerita sebuah karya fiksi. Pengarang fiksi adalah seorang pelaku sekaligus pengamat berbagai permasalahan hidup dan kehidupan yang berusaha mengungkap dan mengangkatnya ke dalam sebuah karya. Isi cerita adalah sesuatu yang dikisahkan dalam sebuah karya fiksi. 

4.      Cerita dan Fakta
Tulisan dengan Data Faktual. Tulisan yang dibuat berdasarkan data dan atau informasi faktual, misalnya, adalah tulisan berita sebagaimana halnya yang biasa dilakukan wartawan untuk surat kabar. Tulisan berita untuk surat kabar harus benar-benar didasarkan data dan informasi faktual dan sekaligus aktual.
Masalah ketegangan hubungan antara yang nyata dengan yang rekaan dalam karya sastra sudah dipersoalkan oleh Aristoteles, yaitu dengan teori mimetik dan creatio-nya.
Penulisan sejarah terkait pada data-fakta yang besar-benar ada dan terjadi, data-fatra yang memiliki validitas empiris yang dapat dipertanggungjawabkan. Secara teoritis, ia tak dapat dimanipulasikan. Manipulasi dalam pengertian menambah, menyembunyikan.
Unsur realitas dan imajinasi. Karangan yang mengandung unsur imajinasi sebenarnya bukan hanya monopoli karya fiksi yang sering disebut sebagai karya imajinatif. Ada dua jenis karya tertentu yang tampaknya sulit untuk dikategorikan ke dalam fiksi atau nonfiksi, yaitu karya yang bersifat biografis (di Indonesia banyak contohnya, sebagian disebut di depan). 





BAB 5
PEMPLOTAN

1.      Hakikat Plot dan Pemplotan
Untuk menyebut plot secara tradisional, orang juga sering mempergunakan istilah alur atau jalan cerita, sedangkan dalam teori-teori yang berkembang lebih kemudian dikenal adanya istilah struktur naratif, susunan, dan juga sujet. Peristiwa-peristiwa cerita (dan atau plot) dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku, dan sikap tokoh-tokoh (utama) cerita.
   
2.      Peristiwa, Konflik, dan Klimaks
Ketiga unsur itu mempunyai hubungan yang mengerucut: jumlah cerita dalam sebuah karya fiksi banyak sekali, namun belum tentu semuanya mengandung dan atau merupakan konflik, apalagi konflik utama.
a.       Peristiwa. Dapat diartikan sebagai peralihan dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Dalam hubungannya dengan pengembangan plot, atau perannya dalam penyajian cerita, peristiwa dapat dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu peristiwa fungsional, kaitan, dan acuan (Luxemburg dkk, (1992:150).
b.      Konflik (conflict). Yang notabene adalah kejadian yang tergolong penting (jadi, ia akan berupa peritiwa fungsional, utama, dan kernel), merupakan unsur yang esensial dalam pengembangan plot.

3.      Kaidah Pemplotan
Novel merupakan sebuah karya yang bersifat imajiner dan kreatif. Sifat kreativitas itu antara lain terlihat pada kebebasan pengarang untuk mengemukakan (baca: menciptakan) cerita, peristiwa, konflik, tokoh, dan lain-lain yang termasuk dalam aspek “material” fiksi, dengan teknik dan gaya yang paling disukai.
Kaidah-kaidah pemplotan yang dimaksud meliputi masalah plausibilitas (plausibility) adanya unsur kejutan (surprise), rasa ingin tahu (suspense), dan kepaduan (unity) (Kenny, 1996:19-22).
4.      Penahapan Plot
Secara teoretis-kronologis tahaptahap pengembangan, atau lengkapnya: struktur plot, dikemukakan sebagai berikut:
a.       Tahapan Plot: Awal-Tengah-Akhir
Untuk memperoleh keutuhan sebuah plot cerita. Aristoteles mengemukakan bahwa sebuah plot haruslah terdiri dari tahap awal (beginning), tahap tengah (midle), dan tahap akhir (end) (Abrams, 1981:138).
b.      Tahapan Plot: Rincian Lain
1)      Tahapan situation (Tasrif juga memakai istilah dalam bahasa Inggris): tahap penyituasian.
2)      Tahapan generating citcumstances: tahap pemunculan konflik.
3)      Rahap rising action: tahap peningkatan konflik.
4)       Tahap climax: tahap klimaks.
5)      Tahap denouement: tahap penyelesaian.
c.       Diagram Struktur Plot

5.      Pembedaan Plot
Setiap cerita memiliki plot yang merupakan kesatuan tindak, yang disebut juga sebagai an artistic whole. Pembedaan plot yang dikemukakan di bawah ini didasarkan pada tinjauan dari kriteria-kriteria sebagai berikut:
a.       Pembedaan plot berdasarkan kriteria urutan waktu
b.      Pembedaan plot berdasarkan kriteria jumlah
c.       Pembedaan plot berdasarkan kriteria kepadatan
d.      Pembedaan plot berdasarkan kriteria isi






BAB 6
PENOKOHAN

1.      Unsur Penokohan Dalam Fiksi
a.       Pengertian dan hakikat penokohan
Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawab terhadap pertanyaan. Tokoh nyata hanya dijadikan semacam model, sebagai bahan peniruan (menurut teori minetik) dan selanjutnya tokoh cerita akan hidup dengan cara kehidupannya sendiri sesuai dengan hakikat fiksionalitas.
b.      Penokohan dan unsur cerita yang lain
Penokohan sebagai salah satu unsur pembangun fiksi dapat dikaji dan dianalisis keterjalinannya dengan unsur-unsur pembangunan lainnya. Pemokohan dan pemplotan merupakan dua fakta cerita yang saling mempengaruhi dan menggantungkan satu dengan yang lain. Plot adalah apa yang dilakukan tokoh dan apa yang menimpanya.
c.       Relevansi tokoh
 Berhadapan dengan tokoh-tokoh fiksi, pembaca sering memberikan reaksi emotif tertentu seperti merasa akrap, simpati, empati, benci, anipati, atau berbagai reaksi efektif lainnya.

2.      Pembedaan Tokoh
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan e dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan.
a.       Tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Sedangkan tokoh tambahan biasanya diabaikan.
b.      Tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang idela bagi kita (Altenbernd & Lewis, 1996:59). Tokoh penyebab terjadinya konflik disebut tokoh antagonis.
c.       Tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja. Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya.
d.      Tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan.
e.       Tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitassnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya. Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri.

3.      Teknik Pelukisan Tokoh
Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya atau lengkapnya: pelukisan sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai hal lain yang berhubungan dengan jati diri tokoh¾dapat dibedakan ke dalam dua cara atau teknik, yaitu teknik uraian (telling) dan teknik ragam (showing) (Abrams, 1981:21), atau teknik penjelasan, ekspositori (expository) dan teknik dramatik (dramatic) (Altenbernd & Lewis, 1996:56), atau teknik diskursif (discursive), dramatik, dan konyekstual (Kenny, 1996:34-6).






BAB 7
PELATARAN

1.      Latar Sebagai Unsur Fiksi
a.        Latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981:175).
b.       Latar netral tak memiliki dan tak mendeskripsikan sifat khas tetentu yang menonjol yang terdapat dalam sebuah latar, sesuatu yang justru dapat membedakannya dengan latar-latar lain. Latar tipikal memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik yang menyangkut unsur tempat, waktu, maupun sosial.
c.        Penekanan unsur latar. Unsur latar yang ditekankan perannya dalam sebuah novel, langsung ataupun tak langsung, akan berpengaruh terhadap elemen fiksi yang lain, khususnya alur dan tokoh.
d.       Latar dan unsur fiksi yang lain. Latar sebuah karya yang sekedar berupa penyebeutan tempat, waktu, dan hubungan sosial tertentu secara umum, artinya bersifat netral, pada umumnya tak banyak berperan dalam pengembangan cerita secara keseluruhan.
    
2.      Unsur Latar
a.        Latar tempat. Menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. 
b.       Latar waktu. Berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
c.        Latar sosial. Menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
d.       Catatan tentang anakrinisme. Menyaran pada pengertian adanya ketidaksesuaian dengan urutan (perkembangan) waktu dalam sebuah cerita.  
3.      Hal Lain Tentang Latar
Latar sebagai salah satu unsur fiksi, sebagai fakta cerita, yang bersama unsur-unsur lain membentuk cerita. Latar berhubungan langsung dan mempengaruhi pengaluran dan penokohan. Latar sebagai bagian cerita yang tak terpisahkan.
a.        Latar sebagai metaforik
Metafora menyaran pada suatu pembandingan yang mungkin berupa sifat keadaan, suasana, ataupun sesuatu yang lain.
b.       Latar sebagai atmosfer
Atmosfer dalam cerita merupakan “udara yang dihirup pembaca sewaktu memasuki dunia rekaan”. Ia berupa deskripsi kondisi latar yang mampu menciptakan suasana tertentu, misalnya suasana ceria, romantis, sedih, muram, maut, misteri, dan sebagainya.
Latar yang berfungsi sebagai metaforik dan sebagai atmosfir, walau menyaran pada pengertian dan fungsi yang berbeda, pada kenyataannya erat berkaitan.















BAB 8
PENYUDUTPADANGAN

1.      Sudut Pandang Sebagai Unsur Fiksi
a.       Hakikat sudut pandang
Pengertian sekitar sudut pandang. Sudut pandang, point of view, menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams, 1981:142).
Sudut pandang bagaimanapun merupakan sesuatu yang menyaran pada masalah teknis, sarana untuk menyampaikan maksud yang lebih besar daripada sudut pandang itu sendiri.   
b.      Pentingnya sudut pandang
Sudut pandang dianggap sebagai salah satu unsur fiksi yang penting dan menentukan. Kesemuanya itu dimulai setelah Henry James-yang novelis sekaligus esais Amerika itu-menulis esai tentang sudut pandang secara meyakinkan, dan yang belakangan esai-esainya dikumpulkan dan terbit dengan judul The Art of Novel (1934). 
Pemilihan sudut pandang menjadi penting karena hal itu tak hanya berhubungan dengan masalah gaya saja, walau tak disangkal bahwa pemilihan bentuk-bentuk gramatika dan retorika juga penting dan berpengaruh.
c.       Sudut pandang sebagai penonjolan
Adanya penyimpangan dan pembaharuan dalam karya sastra, seperti dikemukakan, merupakan hal yang esensial. Penyimpangan sudut pandang bukan hanya menyangkut masalah persona pertama atau ketiga, melainkan lebih berupa pemilihan siapa tokoh “dia” atau “aku” itu, siapa yang menceritakan itu, anak-anak, dewasa, orang desa yang tak tahu apa-apa, orang modern, polotikus, pelajar, atau yang lain.  
2.      Macam Sudut Pandang
a.       Sudut pandang persona ketiga: “Dia” adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka.
b.      Sudut pandang persona pertama; “Aku” adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran.
c.       Sudut pandang campuran. Penggunaan sudut pandang dalam sebuah novel mungkin saja lebih satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang dituliskannya.





















BAB 9
BAHASA

1.      Bahasa Sebagai Unsur Fiksi
Bahasa merupakan sarana pengungkap sastra.
a.       Bahasa sastra: sebuah fenomena
Bahasa sastra mungkin dicirikan sebagai bahasa (yang mengandung unsur) emotif dan bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa nonsastra, khususnya bahasa ilmiah, yang rasional dan denotatif. Bahasa sastra, menurut kaum Formalis Rusia, adalah bahasa yang mempunyai ciri deotomatisasi, penyimpangan dari cara pemutaran yang telah bersifat otomatis, rutin, biasa, dan wajar.
b.      Stile dan stilistika
1)      Stile dan hakikat stile
Stile (style, gaya bahasa), adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapan sesuatu yang akan ditemukan (Abrams, 1981:190-1).
2)      Stilistika dan hakikat stilistika
Stilistika kesastraan, dengan demikian, merupakan sebuah metode analisis karya sastra (Abrams, 1981:192). Dimaksudkan untuk menggantikan kritik yang bersifat subjektif dan impresif dengan analisis stile teks kesastraan yang lebih bersifat objektif dan ilmiah.
Analisis stilistika: metode kuantitatif. Berbagai tanda linguistik yang terwujud dalam bentuk ungkapan bahasa sebuah fiksi, seperti dikumukakan di atas, menjadi sarana pembentuk stile, dan hal itulah yang menjadi objek analisis stilistika.
c.       Stile dan nada
Sebuah novel mungkin menyiratkan nada yang bersifat intim, santai, dan simpatik, yang lain mungkin bersifat romantis, mengharukan, dan sentimentil atau kasar dan sinis. Nada (tone), nada pengarang (authorial tone), dalam pengertian yang luas, dapat diartikan sebagai pendirian atau sikap yang diambil pengarang (tersirat, implied author) terhadap pembaca dan terhadap (sebagian) masalah yang dikemukakan (Leech & Short, 1981: 280).

2.      Unsur Stile
Kajian stile sebuah novel biasanya dilakukan dengan menganalisis unsur-unsurnya, khususnya untuk mengetahui kontribusi masing-masing unsur untuk mencapai efek estetis dan unsur apa saja yang dimonan.
a.       Unsur leksikal yaitu yang mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang.
b.      Unsur gramatikal yang dimaksud menyaran pada pengertian struktur kalimat.
c.       Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis.

3.      Percakapan Dalam Novel
a.       Narasi dan Dialog
Gaya narasi adalah semua penuturan yang bukan bentuk percakapan-sering dapat menyampaikan sesuatu secara lebih singkat dan langsung. Penuturan bentuk dialog tak mungkin hadir sendiri tanpa disertai (atau menyatu dengan) bentuk narasi.
b.      Unsur Pragmatik dalam percakapan
Percakapan yang hidup dan wajar, adalah percakapan yang sesuai demngan konteks pemakaiannya, percakapan yang mirip dengan situasi nyata penggunaan bahasa. Bentuk percakapan yang demikian bersifat pragmatik. Diartikan pada beberapa pengertian yang berbeda namun intinya adalah mengacu pada (telaah) penggunaan bahasa yang mencerminkan kenyataan. 
c.       Tindak Ujar
Konsep yang menggabungkan antara makna percakapan dengan konteks, adalah konsep tindak ujar (speech acts).
BAB 10
MORAL

1.      Unsur Moral Dalam Fiksi
  1. Pengertian dan Hakikat Moral
Secara umum moral menyaran pada pengertian ajaran tentang baik buruk yang di terima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan dan hal itu yang disampaikan kepada pembaca.
  1. Jenis dan Wujud Pesan Moral
Jenis ajaran moral dapat mencakup masalah yang boleh dikatakan, bersifat tak terbatas. Ia dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia. Persoalan manusia dengan dirinya sendiri dapat bermacam-macam jenis dan tingkat intensitasnya.

2.      Pesan Religius Dan Kritik Sosial
a.        Pesan Religius dan Keagamaan
Kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah suatu keberadaan sastra itu sendiri. Seorang religius adalah orang yang mencoba memahami dan menghayati hidup dan kehidupan ini lebih dari sekedar yang lahiriah saja.
b.       Pesan Kritik Sosial
Wujud kehidupan sosial yang dikritik dapat bermacam-macam seluas lingkup kehidupan sosial itu sendiri. Sastra yang mengandung pesan kritik dapat juga disebut sebagai sastra kritik biasanya akan lahir di tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial dan masyarakat.


3.      Bentuk Penyampaian Pesan Moral
a.        Bentuk Penyampaian Langsung
Bentuk penyampaian pesan moral yang bersifat langsung boleh dikatakan, identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian atau penjelasan. Karya sastra adalah karya estetis yang memiliki fungsi untuk mengibur, memberi kenikmatan emosional dan intelektual. Karya fiksi yang mengandung pesan moral secara langsung sering di jumpai dalam novel-novel Indonesia awal, walau kadang-kadang juga masih dapat dirasakan dalam novel yang tergolong belakangan.
b.       Bentuk Penyampaian Tidak Langsung
Bentuk penyampaian pesan moral disini bersifat tidak langsung. Pesan itu hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara koherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain. Hubungan yang terjadi antara pengarang dengan pembaca adalah hubungan yang tidak langsung dan tersirat. Kurang ada pretensi pengarang untuk langsung menggurui pembaca sebab yang demikian justru tidak efektif disamping juga merendahkan kadar literer karya yang bersangkutan. Pengarang tidak menganggap pembaca bodoh, dan sebaliknya pembaca pun tidak mau dibodohi oleh pengarang. Kadar ketersembunyian dan atau kemencolokan unsur pesan yang ada, dalam banyak hal, dipakai untuk mempertimbangkan keberhasilan sebuah karya seni.



Berita Viral Terkini